Advertisement
Ali bin Abi Thalib (35 – 40 H = 656 – 661 M)
Khlifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ali adalah keponakan dan
menantu Nabi. Ali adalah putra Abi Thalid bin Abdul Muthalib. Ali adalah
seseorang yang memiliki kelebihan, selain itu ia adalah pemegang kekuasaan.
Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan wawasan yang
jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasehat yang bijaksana,
penasihat hukum yang ulung dan pemegang teguh tradisi, seorng sahabat sejati,
dan seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras sampai akhir hayatnya
dan merupakan orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad.
Gelar-gelar yang
disandang oleh Ali bin Abi Thalib
“Babul Ilmu” gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk
orang yang banyak meriwayatkan hadistv v Zulfikar karena pedangnya yang
bermata,juga disebut “Asadullah” (singa Allah) dua dan setiap Rasulullah
memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan memperole kemenangan. “Karramallahu Wajhahu” gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya dimuliakan
oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan
jiwanya. v “Imamul masakin” (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu
belas kasih kepada orang-orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan
orang-orang fakir, miskin dan yatim. Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan. v
Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang didalamnya bercermin
kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan
cahayanya, itulah sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang
diridhai Allah dan Rasulnya.
Proses dan Khalifahan
Ali bin Abi Thalib
Setelah Usman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi
Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun
dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan setabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali memecat para gubernur yang di angkat oleh Usman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali siatem distribusi pajak
tahunan dia antara orang-orang Islam sebagaimana pernah ditetapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi
pemberontakkan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman
yang telah ditumpahkan secara zalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun, ajakan tersebut
ditolak. Akhirnya pertempuran yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal
dengan nama “Perang Jamal (Unta)” Karena Aisyah dalam pertempuran itu
menunggang unta. Ali berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika
hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Manajemen Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.
menjalankan system pemerintahaan sebagaimana Khalifah sebelumnya, baik dari
segi kepemimpinan ataupun manajemen. Dalam mengangkat seorang pemimpin, beliau
mendelesiasikan wewenang dan kekuasaan atas wilayah yang dipimpinnya. Seorang
memiliki kewenangan penuh untuk mengelola wilayah yang dikuasainya, namun
khalifah tetap melakukan pengawasan terhadap kinerja pemimpin tersebut.
Khalifah senantiasa mengajak pegawainya untuk untuk hidup Zuhud, berhemat dan
sederhana dalam kehidupan, begitu juga untuk selalu memperhatikan dan berbelas
kasihan terhadap kehidupan rakyatnya. Beliau juga mengjarkan system renumirasi. Selain itu, beliau juga konsisten
terhadap kepentingan masyarakat secara umum.
Peristiwa Tahkim dan
Dampaknya
Akibat terjadinya
perselisihan pendapat dalam pasukan Ali, maka timbullah golongan Khawarij dan
Syi’ah. Khawarij adalah golonga yang semula pengikut Ali , setelah berhenti
perang Siffin mereka tidak puas, dan keluar dari golongan Ali, karena mereka
ingin melanjutkan peperangan yang sudah hampir menang, dan mereka tidak setuju
dengan perundingan Daumatul Jandal.
Mereka berkomentar mengapa harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat bertahkim kecuali allah. Maksudnya tidak ada hukumselain bersumber kepada Allah. khawrij menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang melaksanakan hukum tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir.
Sebaliknya golongan
kedua Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah) memberi
tanggapan bahwa tidak menutup kemungkinan kepemimpinan Muawwiyah bertindak
salah, karena ia manusia biasa, selain itu golongan Syi’ah beranggapan bahwa
hanya Ali satu-satunya yang berhak menjadi Khalifah.
Mengingat perdebatan
ini tidak titik temunya dan mengakibatkan perundingan Daumatul Jandal gagal
sehingga perdamaian tidak terwujud.
Ali bin Abi Thalib Wafat
Kaum Khawarij tidak
lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Isalam, dan mereka berpendapat
bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam,
yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian kaum Khawarij
membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam satu saat, bila
hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian tekad mereka. “Saya
membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh Muawwiyah”, sambut
Barak bin Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”, demikian kesanggupan Amr
bin Bakr Attamimi.
Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari 661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat.
mkasih..
ReplyDelete